Pemerintah Timor Leste menggugat pemerintah Australia ke
Pengadilan Internasional terkait skandal intelijen atau spionase. Selain
menuduh Australia telah melakukan penyadapan atas perjanjian minyak dan
gas di Laut Timor, pemerintah Timor Leste juga menuding pejabat
intelijen Australia secara legal telah menyita dokumen dari kantor
pengacara Bernard Collaery.
Pada awal Desember 2013, agen mata-mata Australia menggerebek kantor Bernard Collaery di Canbera dan menyita sejumlah dokumen dan rekaman elektronik. Bernard Collaery merupakan kuasa hukum yang ditunjuk pemerintah Timor Leste untuk kasus penyadapan atas perjanjian minyak dan gas di laut Timor yang akan disidangkan di Pengadilan Internasional di Den Haag.
Perdana Menteri (PM) Timor Leste, Xanana Gusmao, telah menyampaikan gugatan resmi terhadap pemerintah Australia terkait skandal mata-mata tersebut, ke Pengadilan Internasional, Rabu (18/12).
Pihak Pengadilan Internasional mengemukakan, pemerintah Timor Leste sangat berkeberatan dengan tindakan penggerebekan dan penyitaan dokumen yang dilakukan agen mata-mata Australia.
Tindakan tersebut dinilai telah melanggar kedaulatan dan hak-hak Timor Leste yang dilindungi di bawah hukum internasional. “Pemerintah Timor Leste menuntut Australia mengembalikan semua dokumen yang disita dan memusnahkan setiap salinan dari dokumen tersebut,” kata pejabat Pengadilan Internasional.
Otoritas Timor Leste juga meminta Pengadilan Internasional mengambil langkah-langkah yang diperlukan termasuk mengamankan dokumen-dokumen dan menegaskan agar Australia menjamin tidak akan mencegat komunikasi antara Timor Leste dengan penasehat hukumnya.
Skandal penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap Timor Leste terungkap dari pengakuan seorang saksi kunci yang merupakan mantan agen intelijen negeri Kanguru itu.
Dia menyatakan bahwa dinas intelijen luar negeri Australia menggunakan sebuah proyek bantuan perbaikan kantor kabinet Timor Leste dengan tujuan menanam perangkat penyadap di dinding gedung kantor untuk menguping pembahasan tentang perjanjian minyak dan gas di Laut Timor antara Australia dan Timor Leste pada 2004.
Perjanjian itu, mengatur pembagian hasil sebesar 50:50 untuk pengelolaan wilayah tertentu di Laut Timor (CMATS) terutama dari bidang energi yang diperkirakan mencapai US$ 36 miliar. Pemerintah Timor Leste kini berupaya merubah dokumen perjanjian itu karena dinilai lebih menguntungkan Australia.
Pada awal Desember 2013, agen mata-mata Australia menggerebek kantor Bernard Collaery di Canbera dan menyita sejumlah dokumen dan rekaman elektronik. Bernard Collaery merupakan kuasa hukum yang ditunjuk pemerintah Timor Leste untuk kasus penyadapan atas perjanjian minyak dan gas di laut Timor yang akan disidangkan di Pengadilan Internasional di Den Haag.
Perdana Menteri (PM) Timor Leste, Xanana Gusmao, telah menyampaikan gugatan resmi terhadap pemerintah Australia terkait skandal mata-mata tersebut, ke Pengadilan Internasional, Rabu (18/12).
Pihak Pengadilan Internasional mengemukakan, pemerintah Timor Leste sangat berkeberatan dengan tindakan penggerebekan dan penyitaan dokumen yang dilakukan agen mata-mata Australia.
Tindakan tersebut dinilai telah melanggar kedaulatan dan hak-hak Timor Leste yang dilindungi di bawah hukum internasional. “Pemerintah Timor Leste menuntut Australia mengembalikan semua dokumen yang disita dan memusnahkan setiap salinan dari dokumen tersebut,” kata pejabat Pengadilan Internasional.
Otoritas Timor Leste juga meminta Pengadilan Internasional mengambil langkah-langkah yang diperlukan termasuk mengamankan dokumen-dokumen dan menegaskan agar Australia menjamin tidak akan mencegat komunikasi antara Timor Leste dengan penasehat hukumnya.
Skandal penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap Timor Leste terungkap dari pengakuan seorang saksi kunci yang merupakan mantan agen intelijen negeri Kanguru itu.
Dia menyatakan bahwa dinas intelijen luar negeri Australia menggunakan sebuah proyek bantuan perbaikan kantor kabinet Timor Leste dengan tujuan menanam perangkat penyadap di dinding gedung kantor untuk menguping pembahasan tentang perjanjian minyak dan gas di Laut Timor antara Australia dan Timor Leste pada 2004.
Perjanjian itu, mengatur pembagian hasil sebesar 50:50 untuk pengelolaan wilayah tertentu di Laut Timor (CMATS) terutama dari bidang energi yang diperkirakan mencapai US$ 36 miliar. Pemerintah Timor Leste kini berupaya merubah dokumen perjanjian itu karena dinilai lebih menguntungkan Australia.